Kamis, 19 Februari 2009

Cerita Luna

Mini Teenlit Episode 1:
My Name Is Luna
Gadis dengan tinggi 152 itu berlari sekuat-kuatnya begitu dilihatnya pagar sekolah di hadapannya akan ditutup.”Pak Sani. Tunggu…. Jangan ditutup dulu!” teriaknya histeris. Beberapa siswa yang sudah akan masuk ke dalam kelas spontan menoleh. Gadis itu cuek.“Pak Sanihhhnafasnya tersengal. Tunggu, Pak. Aku masuk dulu. Baru Bapak boleh menutup pagar ini. Plis..”Lelaki yang dipanggil Pak Sani mengangkat dahi. Tanpa bicara diturutinya perkataan si gadis. Gadis itu tersenyum.“Makasih, Pak Sani. Kenalin. Nama saya, Luna. Saya anak baru di sekolah ini. Pak Sani kaget, ya? Kok, saya tahu nama Bapak? Ada aja…” ucapnya genit dengan tidak lupa memicingkan salah satu matanya. Penjaga sekolah itu hanya geleng-geleng kepala.Luna memperhatikan sekolah barunya. Bau cat kental sekali terasa di hidungnya. Taman-taman sekolah diatur sedimikan rapih dan bersih. Sejuk dan nyaman. Tidak salah kalau Abi merekomendasikan sekolah ini untuknya. Aku banget, gitu loh.“Luna, ya?” seorang wanita berkacamata ramah menyapanya. Luna kaget. Kok, ini orang tahu namanya, pikirnya.“I..iya. maaf siapa, ya? Kok tahu nama aku?” tanyanya lugu.Wanita iu tersenyum. Segera diulurkannya tangannya.“Saya Hayati. Hayati Syafri. Saya guru Fisika di sekolah ini. Saya tahu nama kamu dari Ibu kamu. Ibu kamu itu senior saya dikampus. Dia yang menceritakan kalau kamu bakalan pindah ke sekolah ini. Saya sudah dari tadi menunggu kamu, lo.”Luna tersenyum ke dalam.“Mari ikut saya ke kantor guru.” Luna mangangguk.Luna terbelalak begitu melihat yang disebut kantor guru itu.Ini kantor apa loby hotel pikirnya. Bagus banget. Pantes banyak yang minat ke sekolah ini. Ruang gurunya aja begini. Gimana kelasnya, ya.Semua memperhatikannya. Luna jadi salah tingkah. Apalagi tidak sengaja dia berpapasan mata dengan siswa laki-laki yang kebetulan juga berada di sana. Deg. Jantung Luna berdetak. Tapi, matanya berbinar-binar. Duh, cakep banget. Mirip Dude Herlino. Mau dong. Luna senyum-senyum sendiri.“Luna, ayo…”Ups. Segera ia mengendalikan diri. Dia baru sadar kalau dia tidak sendirian.“Assalamualaikum Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu semua. Perkenalkan ini murid baru kita. Nah, silahkan perkenalkan nama kamu.”“Hallo semua. Eh, assalamualaikum semuanya. Perkenalkan nama saya Luna. Lengkapnya Luna Mutmainnah. Saya siswa baru di sekolah ini. Mohon bantuannya. Semoga saya betah di sekolah ini. Ups, semoga saya senang di sekolah ini. Eh, maksudnya semoga saya bisa memberikan yang terbaik untuk sekolah ini.” Aduh, kok jadi salting begini. Apa karena si Dude, ya. Eh, dia ketawa lagi. Dih, gantengnya kalau lagi ketawa. Siapa, sih namanya.“Satria…!”Anak laki-laki yang dipanggil Satria itu menoleh.Wah namanya keren banget. Satria. Satria Baja Hitam kali, ya. Luna senyum-senyum sendiri.Ya, Bu.Tolong Ibu, ya. Kamu kan ketua OSIS. Antar Luna ke kelasnya. Dia kan belum tahu sekolah ini. Luna duduk di kelas IX A.Bisa kan?”“Insya Allah, Bu. Bisa.”“Nah, Luna ini Satria. Dia ketua osis di sekolah ini. kamu nanti bisa nanya-nanya tentang sekolah ini sama Satria, ya. Ayo kamu sekarang boleh ke kelas dengan ditemani Satria.”“Saya Luna.” Luna mengacungkan tangannya untuk bersalaman. Tetapi, lelaki dihadapannya hanya menekukkan kedua tangannya di dada.“Saya sudah tahu. Saya Satria.”“Sudah tahu juga, kok. Barusan.” Jawabnya ketus.Luna jadi tidak enak hati. Belagu banget, nih cowok. Awas, ya. Ntar. Jangan panggil aku Luna kalo gak bisa bikin you babak belur. Eh, sakit gigi. Eh, terserah lah. Pokoknya aku gak akan biarin pelecehan ini. Awas, lo.“Mari.”***Kabar kalau kelas IX A akan mendapat siswa baru sudah menyebar sebelumnya. Anak-anak baru gede itu pada berdebar-debar penasaran.Pengen tahu seperti apa tampang anak baru di kelas mereka nanti.“Aku yakin, kalau anak baru ini seorang cewek kece yang merupakan titisan Dewi Sri yang dijodohkan untukku.” Ujar Cecep dengan pede abis.Uuuu.. koor kompak menjawab gombalan Cecep.“Elo, Cep. Bagai punduk merindukan bulan. Ibarat kacang lupa kulitnya.Bagaikan katak dalam tempurung. Seperti memancing tak berkail. Jaka Sembung megang golok....”“Gak nyambung goblok...!” serentak penghuni kelas IX A itu menyambung petuah sang penyair, Bung Khai. Yang nama aslinya sebenernya Chai. Tetapi, dia lebih suka dipanggil Khai.Biar mirip idolanya gitu, Khairil Anwar, si binatang jalang.Cecep hanya bisa memanyunkan bibir seksinya.“Assalamu’alaikum..!”“Wa’alaikum salam warohmatullah...” serentak Cecep dan kawan-kawannya menjawab salam. Bunda Igun masuk beserta seorang cowok. Cecep langsung lemes.“Para siswa sekalian. Kita hari ini kedatangan anak baru. Dia pindahan dari Padang. Namanya Topan. Untuk lebih lanjutnya silahkan Topan memperkenalkan diri.Dengan senyum-senyum cowok jangkung itu memperkenalkan dirinya.“Hallo... nama gue Topan Antariksa. Panggil aja gue Topan.Gue pindahan dari Padang. Senang berkenalan dengan elo-elo pade. Gue harap elo semue bisa jadi temen gue. Thankyu..”Dih, belagu banget, nih anak. Katanya dari Padang, tapi Jakartenya kentel banget. Padang apa padang, sih. Sate kali, ya, Padang. Di sudut bangku ada yang nyelutuk dalam hati.“Elo pasti heran kan. Kok, gue bisa fasih ngomong jakartenye. Yang dari Padang tu bokap gue. So, gue emang besar di sini. Jakarte. Coz, I love Jakarte.”Deg! Yang nyeletuk tadi jantungnya berdetak. Nah, loh!“Oke. Untuk lebih jelasnya nanti silahkan kalian semua bertanya secara langsung seusai pelajaran berakhir, Topan, kamu bisa duduk di sebelah Chai.....”“Assalamu’alaikum...”Semua mata memandang ke arah pintu.Eh, Kak Satria. Kok..? Tapi, sapa yang disebelahnya? Ada yang nyelutuk lagi dalem hati.“Assalamualaikum, Bunda.” Satria santun menyapa Bunda Igun.“Waalaikum salam. Ada apa Satria? Siapa yang kamu bawa?”“Ini, Bu. Saya diminta Ibu Kepala Sekolah untuk mengantar anak baru di kelas ini. Namanya Luna.”Luna menyeringai ke Bunda Igun begitu sudut mata Satria memerintahkan untuk melihat ke arah Bunda Igun.“Wah, kelas kita mendapat durian runtuh. Ini namanya paket hemat. Beli satu dapet satu.” Cecep berseloroh. Bunda Igun mendelik ke arahnya.“O..begitu. Baik. Silahkan kamu memperkenalkan diri.”“Makasih, Bu. Baiklah. Perkenalkan nama saya, Luna. Saya pin...?” mata Luna tersentak begitu beradu pandang dengan mata Topan. Terdengar bisik-bisik.“Ssst..sstt.. yang lainnya diam dan tenang. Lanjutkan Luna.”“Nama saya Luna. Saya pindahan dari Pa..Padang. Semoga teman-teman semua suka sama saya. Terima kasih.”“Wah, sama dong dengan Topan. Kalian berdua sakampuang, yo..?” Cecep kembali berseloroh.“Sudah..sudah..nanti saja tanya lebih lanjut. Sekarang, Luna silahkan duduk di sebelah Farah. Satria kamu silahkan balik ke kelas kamu. Tugas kamu kan sudah selesai.”“Ya, Bu. Permisi. Assalamualaikum.”***

Sastra




Cerpen

Lelaki Seruni




Kehadirannya telah lama menjadi buah bibir di kompleks ini. Anehnya, tidak ada yang bersedia untuk protes. Pak RT, Pak RW, Pak Lurah. Bahkan Camat sekalipun. Tidak ada yang berani untuk protes. Preman-preman di kompleks pun hanya senyum-senyum bila bertemu dengan laki-laki itu. Aku semakin penasaran dibuatnya. Siapa laki-laki itu? Luar biasa sekali aura yang dibawanya.“Maaf, Nak Bahar. Kami tidak boleh berkomentar. Nanti salah ucap. Kami akan diklaim. Diisolasi.”“Iya, Dik Bahar. Tidak usah dikaji-kaji. Nanti, Dik Bahar, juga yang repot.”“Mas Bahar, kenapa pusing-pusing begitu. Nikmatin saja hidup ini. Capek deh.”Aku semakin penasaran. Kenapa orang-orang berkomentar begitu. Ada rahasia apa dengan laki-laki itu.Tidak sengaja aku berpapasan dengan laki-laki itu. Dan dia meyapaku dengan ramah.“Mas Bahar, kan?” tanyanya. Aku mengangguk.“Mau sama-sama?”“Bukankah kita searah.”Aku kembali hanya bisa mengangguk.Entah kenapa aku menurut saja.Seruni menyambut kami dengan lesung pipitnya. Kutangkap aroma nakal di matanya. Jantungku berdebar dibuatnya.“Mas, mampir dulu?”Laki-laki itu menawariku.“Oh, tidak usah. Terima kasih.” Aku langsung bergegas. Dari balik jendela kuintip mereka.”Sudahlah, Bahar. Untuk apa kamu urus tetangga kita itu. Lebih baik kamu cari kerja. Cari duit. Tidak kasihan dengan hidupmu.”Petuah Amak hanya lewat sebentar. Bagiku ini merupakan teka-teki yang menarik dan menantang. Setidaknya aku harus tahu siapa sebenarnya laki-laki di rumah Seruni itu.***”Yang di rumah Seruni? Oh, itu. Aku kenal.”“Apa? Kamu kenal?”“Ya. Kenal. Kamu jangan ganggu dia. Biarkan saja.”“Tapi...?”“Ah, sudahlah, Har. Jangan pedulikan. Tuhan tidak tidur. Setiap perbuatan pasti ada balasannya. Mending kita tidur.””Tunggu, Ba. Apa yang kamu ketahui tentang mereka? Hubungan mereka? Siapa laki-laki itu sebenarnya?””Beritahu aku, Arba? Tolong...!”Arba terkejut dengan reaksiku. Sejenak ditatapnya aku.”Bahar, berpikir idealis sah-sah saja. Boleh. Tetapi, kita juga mesti melihat situasi dan kondisi di sekitar kita. Apa kamu ingin berpisah dengan Amakmu?””Maksudmu?””Bahar! Dengar, ya. Jangan tanya-tanya lagi perihal laki-laki itu. Titik!””Tapi, Ba....?””Titik, kataku.”Arba menjauhiku. Dan memilih tidur. Kepalaku bertambah pening dibuatnya. Dimana Arba kenal laki-laki itu? Kok, bisa kenal. Kapan?***”To...ooolooo...nngg...!!!””Prang..!”Gelas ditangan Bahar terbanting di lantai. Bergegas Ia berlarian menuju asal suara. Seruni berdiri ketakutan sembari tangannya menunjuk-nunjuk arah kamarnya. Bahar mengikuti arah itu. Dan matanya terbelalak begitu melihat sosok laki-laki yang menjadi misteri bagi dirinya selama ini telah terbujur kaku dia atas tempat tidur. Dengan keadaan tubuh yang nyaris telanjang. Bahar cuma bisa melongo.***Paginya Bahar mendapati berita telah meninggalnya salah seorang pejabat kota itu. Disebutkan kalau beliau meninggal dalam keadaan usnul khatimah. Dan kepada masyarakat diminta untuk mendoakannya. Dan memaafkan semua kesalahannya. Ada foto pejabat tersebut. Dan Bahar kembali cuma bisa melongo.Sawahan II, Agustus 2008
Istri Manja

Seorang teman bercerita kepada saya perihal peran seorang istri. Ini diceritakannya kepada saya karena sebuah pengalaman nyata yang dialaminya. Dan dia, merasa perlu menceritakan ini semua kepada saya. Berikut pengalaman teman tersebut.
Dalam sebuah kesempatan, saya diajak teman bermalam ke rumahnya. Saya kagum sekali dengan keluarga teman saya tersebut. Mereka adik beradik semua berprestasi. Ayah mereka seorang pedagang yang tekun dan ulet. Bisa dikatakan cukup sukses untuk ukuran sekarang ini. Sementara Ibunya seorang PNS di sekolah negeri. Sungguh beruntung saya pikir demikian.
Rasa kagum saya memndadak berubah ketika pagi harinya. Yang saya dapati kesibukkan rumah tangga bukan dijalani oleh Ibu teman saya itu.melainkan oleh Ayahnya.
Saya lihat semuanya.
Dari menanak nasi, masak air, membuat sambal. Bahkan hingga sarapan pagi teman saya beserta saudara-saudaranya, Ayahnya semua yang mengerjakan. Dan yang membuat saya lebih terkejut, Ayahnya juga yang menyuapin saudara-saudara teman saya tersebut dan juga untuk urusan menyisir rambut dan mengepangnya pun dilakoni oleh Ayahnya.
Di manakah sang istri?
Di manakah ibunya?
Di manakah ratu rumah tangga tersebut?
Saya dapati Ia sedang bersiap-siap untuk pergi mengajar. Sudah begitu Ia minta segera diantar oleh Ayah karena takut terlambat. Sekilas saya mendapati mimik tidak senang dari Ayahnya. Astagfirullah.. Apakah dunia sudah terbalik.
Sorenya saya berkesempatan mengobrol dengan Ibu teman saya tersebut. Dalam obrolan tersebut Ia selalu memuji-muji suaminya yang mau turun ke dapur. Bangga sekali dia. Saya geli mendengarnya. Tidak ada perasaan malu dengan perkataannya sendiri. Malahan bangga yang sangat luar biasa.
Istri mencari nafkah saya fikir sah-sah saja. Namun, hendaknya Ia mampu menempatkan mana pekerjaan dan mana yang bukan pekerjaan. Mengurusi rumah tangga adalah urusan penuh seorang istri. Dari membuat sarapan, menyiapkan bekal anak, urusan sekolah anak, perkembangan anak sepatutnyalah seorang ibu yang lebih cekatan. Sebab seorang Ayah tentu sudah cukup lelah dengan mencari nafkah di luar. Tentu di rumah ada keinginannya untuk berleha-leha setiba di rumah.
Betapa menyedihkan perasaan seorang suami begitu pulang kerja justru tidak dijumpainya sesuatu pun untuk di makan. Atau seorang anak yang pulang sekolah berjalan panas-panas. Dan ketika pulang hanya nasi putih yang dijumpainya di magik jer. Sungguh malang.
Duhai para istri.
Duhai para ibu.
Bangunlah.
Bangkitlah.
Sadarlah.
Surga ada di telapak kakimu.
Seribu malaikat di langit dan bumi mendoakanmu.
Renggutlah berkah itu.
Gapailah kenikmatan itu.
Jangan diperturut rasa malas dan manja itu. Buatlah setan-setan menangis dengan ketekunanmu dalam mengurus rumah tangga. Jangan sebaliknya. Membiarkan setan-setan tertawa penuh kemenangan karena kemalasanmu. Kemanjaanmu.Astagfirullah.
.