Kamis, 19 Februari 2009

Sastra




Cerpen

Lelaki Seruni




Kehadirannya telah lama menjadi buah bibir di kompleks ini. Anehnya, tidak ada yang bersedia untuk protes. Pak RT, Pak RW, Pak Lurah. Bahkan Camat sekalipun. Tidak ada yang berani untuk protes. Preman-preman di kompleks pun hanya senyum-senyum bila bertemu dengan laki-laki itu. Aku semakin penasaran dibuatnya. Siapa laki-laki itu? Luar biasa sekali aura yang dibawanya.“Maaf, Nak Bahar. Kami tidak boleh berkomentar. Nanti salah ucap. Kami akan diklaim. Diisolasi.”“Iya, Dik Bahar. Tidak usah dikaji-kaji. Nanti, Dik Bahar, juga yang repot.”“Mas Bahar, kenapa pusing-pusing begitu. Nikmatin saja hidup ini. Capek deh.”Aku semakin penasaran. Kenapa orang-orang berkomentar begitu. Ada rahasia apa dengan laki-laki itu.Tidak sengaja aku berpapasan dengan laki-laki itu. Dan dia meyapaku dengan ramah.“Mas Bahar, kan?” tanyanya. Aku mengangguk.“Mau sama-sama?”“Bukankah kita searah.”Aku kembali hanya bisa mengangguk.Entah kenapa aku menurut saja.Seruni menyambut kami dengan lesung pipitnya. Kutangkap aroma nakal di matanya. Jantungku berdebar dibuatnya.“Mas, mampir dulu?”Laki-laki itu menawariku.“Oh, tidak usah. Terima kasih.” Aku langsung bergegas. Dari balik jendela kuintip mereka.”Sudahlah, Bahar. Untuk apa kamu urus tetangga kita itu. Lebih baik kamu cari kerja. Cari duit. Tidak kasihan dengan hidupmu.”Petuah Amak hanya lewat sebentar. Bagiku ini merupakan teka-teki yang menarik dan menantang. Setidaknya aku harus tahu siapa sebenarnya laki-laki di rumah Seruni itu.***”Yang di rumah Seruni? Oh, itu. Aku kenal.”“Apa? Kamu kenal?”“Ya. Kenal. Kamu jangan ganggu dia. Biarkan saja.”“Tapi...?”“Ah, sudahlah, Har. Jangan pedulikan. Tuhan tidak tidur. Setiap perbuatan pasti ada balasannya. Mending kita tidur.””Tunggu, Ba. Apa yang kamu ketahui tentang mereka? Hubungan mereka? Siapa laki-laki itu sebenarnya?””Beritahu aku, Arba? Tolong...!”Arba terkejut dengan reaksiku. Sejenak ditatapnya aku.”Bahar, berpikir idealis sah-sah saja. Boleh. Tetapi, kita juga mesti melihat situasi dan kondisi di sekitar kita. Apa kamu ingin berpisah dengan Amakmu?””Maksudmu?””Bahar! Dengar, ya. Jangan tanya-tanya lagi perihal laki-laki itu. Titik!””Tapi, Ba....?””Titik, kataku.”Arba menjauhiku. Dan memilih tidur. Kepalaku bertambah pening dibuatnya. Dimana Arba kenal laki-laki itu? Kok, bisa kenal. Kapan?***”To...ooolooo...nngg...!!!””Prang..!”Gelas ditangan Bahar terbanting di lantai. Bergegas Ia berlarian menuju asal suara. Seruni berdiri ketakutan sembari tangannya menunjuk-nunjuk arah kamarnya. Bahar mengikuti arah itu. Dan matanya terbelalak begitu melihat sosok laki-laki yang menjadi misteri bagi dirinya selama ini telah terbujur kaku dia atas tempat tidur. Dengan keadaan tubuh yang nyaris telanjang. Bahar cuma bisa melongo.***Paginya Bahar mendapati berita telah meninggalnya salah seorang pejabat kota itu. Disebutkan kalau beliau meninggal dalam keadaan usnul khatimah. Dan kepada masyarakat diminta untuk mendoakannya. Dan memaafkan semua kesalahannya. Ada foto pejabat tersebut. Dan Bahar kembali cuma bisa melongo.Sawahan II, Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar